Rabu, 05 Februari 2014

Pemikiran Hegel (1770-1831) tentang Filsafat Sejarah

Pemikiran Hegel (1770-1831) tentang Filsafat Sejarah



Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah seorang filsuf Jerman dan merupakan seorang filosof idealis, ia yakin bahwa atau jiwa adalah realitas terakhir. Hegel dalam bukunya “Philosophy of History” mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada pandangan bahwa Negara merupakan realitas kemajuan pikiran ke arah kesatuan dengan nalar. Ia melihat Negara sebagai kesatuan wujud dari kebebasan objektif dan nafsu subjektif adalah organisasi rasional dari sebuah kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika di biarkan pada tingkah laku individu.
Ia menggunakan dialektika untuk menjelaskan pandangannya. Sementara dialektika adalah konsep pertentangan menuju kesatuan di mana seluruh proses yang terjadi selalu mengalami pertentangan sebelum akhirnya menuju ke sebuah kesatuan. Dialektika sebagai proses terdiri dari tiga tahapan, tahapan pertama adalah tesis, kemudian tahapan kedua sebagai negasi disebut antitesis dan akhirnya tahapan ketiga disebut sintesis sebagai kesatuan atau yang mendamaikan kedua tahapan sebelumnya.
            Hegel berpendapat bahwa tugas seorang filsuf sejarah adalah menemukan rasionalitas sejarah, yakni arti dari tujuan dalam proses sejarah secara keseluruhan serta mencoba untuk menjawab apakah sejarah lebih dari hanya sekedar rangkaian peristiwa yang berkaitan satu sama lain? Menurut Hegel, hanya ada satu asumsi pokok dalam pendekatan sejarah, yakni  alasan/tujuannya, sehingga oleh karena itu sejarah hadir (terjadi) dengan suatu proses rasional. Menurutnya, dalam filsafat sejarah pengertian pokok adalah budi. Budi tersebut aktif dalam dua bidang. Bidang pertama, sebagai roh objektif, budi menguasai hal-hal dalam kenyataan objektif, kenyataan tersebut memperlihatkan tata tertib dan keteraturan sesuai dengan kaidah atau prinsip nasional. Bidang kedua, oleh Hegel disebut dengan roh subjektif. Identifikasi antara roh objektif dan roh subjektif berlangsung terus menerus, yang pada hakekatnya merupakan suatu proses sejarah yang saling berjumpa dalam sintesa tertinggi, yakni roh mutlak. Disebut roh mutlak karena roh objektif telah melepaskan diri dari dikotomi antara subjek dan objek. Bila tahap roh mutlak sudah tercapai, maka sejarah pun selesai. Sejarah merupakan suatu gerak menuju sebuah tujuan.
            Dia meyakini adanya esensi Roh Mutlak adalah ketidakterikatan atau kebebasan. Komponen yang kemudian melahirkan konsepsi sosial-politik dalam negara. Kebebasan yang sesungguhnya terjadi dalam suatu negara yang rasional, dimana kesadaran diri secara sukarela patuh terhadap hukum dilakukan oleh orang-orang yang sadar (menyadari) sebagai bagian dari budaya mereka. Orang-orang tidak dipaksa untuk patuh. Kesadaran merupakan pertumbuhan alami dari para warga negara. Kebebasan yang dimaksudkan adalah kebebasan yang tidak bersifat individualistik, sebab kebebasan yang individualistik akan selalu melahirkan anarkhi. Perkembanagn kebebasan dalam sejarah manusia dapat terlihat dalam berbagai phase perkembangan.
            Berdasarkan pembedaan antara roh obyektif, roh subjektif, dan roh mutlak, Hegel membedakan tiga macam penulisan sejarah. Pertama, penulisan sejarah orisinil, di sini masa silam seolah-olah berbicara sendiri yaitu laporan seseorang mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zamannya sendiri. Kedua, penulisan sejarah reflektif, yang mengambil jarak terhadap masa silam sehingga menciptakan ruang bagi suatu penilaian oleh roh subjektif. Dari masa silam diambil hikmah atau melalui diskusi-diskusi kritis melacak kebenaran mengenai masa silam. Ketiga, penulisan sejarah secara filsafati. Selama penulisan sejarah masih berada pada tahap roh subjektif, maka pengertian-pengertiannya mengenai masa silam belum lengkap, maka diperlukan penyempurnaan. Penyempurnaan ini terjadi di dalam penulisan sejarah secara filsafati, yaitu padanan bagi roh mutlak.
            Menurut Hegel, sejarah dapat dikatakan belum berakhir dalam arti bahwa masih ada hari depan, karena peristiwa-peristiwa masih berlangsung. Namun sebaliknya, ia juga mengatakan bahwa sejarah sudah mencapai masa akhir dalam arti tidak akan ada lagi penemuan-penemuan yang benar-benar baru. Sejarah telah mencapai puncaknya pada abad ke-19. Sejarahnya dapat mengulangi bentuk-bentuk atau tahap-tahap yang lama.